IBc, JAKARTA – Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk SMP dan SMA tahun 2019, terdapat beberapa laporan dari masyarakat yang masuk ke Ombudsman RI.
Pertama laporan tersebut mengenai ketidakpuasaan sebagian masyarakat terhadap penerapan sistem zonasi, dan kedua kesalahan pahaman masyarakat tentang pendaftaran PPDB sehingga dibeberapa tempat atau sekolah, sebagaian masyarakat harus mengantri dan bahkan hingga bermalam di suatu sekolah.
Demikian disampaikan Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Suaedy, melalui siaran persnya yang diterima redaksi, di Jakarta, Rabu (19/6/2019). Mempelajari sejumlah kasus, dan laporan masyarakat tersebut, Ombudsman RI memberikan tanggapannya.
Menurutnya, PPDB tahun 2019 melalui Permendikbud No 15 tahun 2018 telah mengalami perbaikan, diantarannya, pada tahun-tahun sebelumnya Permendikbud tentang PPDB selalu terbit sebulan sebelum pelaksanaan PPDB sehingga menyulitkan daerah atau pemrov/pemkab/pemkot untuk menyesuaikan dengan aturan baru.
“Sedangkan tahun ini Pemendikbud itu sudah terbit setidaknya enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Seharusnya waktu 6 bulan dapat digunakan untuk persiapan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan PPDB dan perbedaannya dengan tahun-tahun sebelumnya sehingga tidak menimbulkan keributan yang mendadak,” ujar Ahmad Suaedy.
Namun demikian lanjut dia, ada beberapa kelemahan masih tampak dalam penerapan zonasi, Kemendikbud dan Dinas Pendidikan di daerah kurang gencar dalam mensosialisasikan Pemendikbud yang baru sehingga masih menimbulkan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat.
“Kemendikbud juga kurang berkoodinasi dengan Kemendagri dalam penerapan sistem zonasi sehingga beberapa kepala daerah masih melakukan modifikasi sistem zonasi yang menyimpang dari tujuan utama sistem tersebut,” terangnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, Kemendikbud seharusnya tegas dalam menegakan aturan tentang sistem zonasi tetapi juga komunikatif dengan masyarakat dan kementerian Dalam Negeri, serta pemerintah daerah, sehingga tujuan baik dalam penerapan zonasi tersebut akan dipahami oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah.
“Tentang adanya antrian yang menimbulkan kekisruhan, hal itu lebih disebabkan karena kesalahpahaman masyarakat bahwa seolah-olah siapa yang paling duluan membawa berkas ke sekolah akan diterima. Ombudsman RI menyesalkan terjadinya kesalahanpahaman itu,” ucap dia.
Sambung Acmad, pendaftaran sekolah seharusnya telah dilakukan dengan sistem daring/on line yang telah diatur sesuai zonasinya. Berkas calon siswa dibawa ke sekolah dalam rangka verifikasi data, bukan untuk untuk pendaftaran yang paling duluan. Selain itu anggota Ombudsman ini mengatakan, hendaknya Kemendikbud, Dikbud dan Pemda lebih gencar memberikan penjelasan kepada masyarakat.
“Disadari bahwa mental masyarakat dalam favoritisme sekolah masih kuat, sehinggga pemerintah secara keseluruhan khususnya Kemendikbud dan Kemendagri agar bekerjasama lebih koordinatif untuk memberikan pengertian kepada masyarakat,” terang Ahmad.
Menutup keterangan tertulisnya, ia menegaskan, mentalitas favoritism itu terutama disebabkan karena kurangnya persebaran dan pemerataan fasilitas dan mutu sekolah di seluruh pelosok Indonesia, sehingga sebagaian masyarakat mengkhawatirkan akan mutu pendidikan bagi putra-putrinya.
“Ombudsman RI mendukung sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan, namun pemerintah perlu segera merealisasikan pemerataan fasilitas dan mutu pendidikan yang lebih kongkrit di seluruh Indonesia,” tutup Anggota Ombudsman RI ini.
Editor : DR
Berita ini telah tayang di Situs Berita INDONESIA BERITA